Secara
umum hasil pendidikan yang telah dicapai melalui institusi pendidikan
formal belum dapat memuaskan semua pihak terutama para pemerhati
pendidikan (stakeholder). Hal ini disinyalir karena masih banyak
ketimpangan yang terjadi khususnya sistem pendidikan di tanah air. Ace
Suryadi (Kompas, 25 Januari 2002) mengakui bahwa sistem pendidikan
sekarang ini masih belum menunjukkan kemampuan life skill yang
diinginkan.
Disamping itu pondasi pendidikan secara nasional masih lemah. Pelajaran yang diajarkan dalam kurikulum kita belum banyak mengandung basic learning skills.
Dari sisi lain ternyata hasil pendidikan kita masih sangat rendah dari segi mentalitas. Hal ini didasari oleh pidato Mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri yang mengatakan bahwa mentalitas bangsa Indonesia tertinggal dibanding negara-negara lain, termasuk dengan negara tetangga terdekat sekalipun.
Masalah ini pada gilirannya bermuara pada rendahnya kadar disiplin sosial bangsa sehingga berdampak negatif terhadap kegiatan dan hasil-hasil pembangunan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan dan kecerdasan memang telah mampu mengantar Indonesia pada tingkat kehidupan dan kemajuan seperti sekarang ini. Namun saat yang bersamaan, dengan jujur harus kita akui bahwa sikap mental kita ternyata belumlah tumbuh sebanding dengan kemajuan fisik dan material yang kita capai (Kompas, 3 Mei 2001).
Selain kenyataan di atas, persoalan mutu pendidikan Indonesia ternyata terburuk di Asia tenggara. Dalam Rakor Kesra terbatas yang diikuti empat Menteri Kabinet Gotong-Royong pada Kamis, 28 Maret 2001 di Jakarta, menyepakati, kondisi mutu pendidikan nasional dewasa ini paling buruk di Asia Tenggara. Jusuf Kalla menyatakan kondisi mutu SDM Indonesia sangat memprihatinkan di Asia. Dalam persaingan dengan negara lain, ibaratnya kita hanya mampu bersaing pada tingkat kuli dan pembantu rumah tangga (PRT).
Ini karena sistem pendidikan kita yang keliru dan harus ada pembenahan pada proses belajar-mengajar yang tidak benar. Beliau mengatakan lebih lanjut, mengapa kita terpuruk?, karena kita tidak mau belajar, sebab selama ini yang belajar atau tidak, prestasinya dianggap sama. Belajar atau tidak, waktu ujian lulus semua. Sementara Mantan Mendagri Hari Sabarno, mengemukakan keterpurukan sistem pendidikan nasional memperburuk kualitas SDM Indonesia, itulah sebabnya, pendidikan perlu terobosan untuk melihat kembali tujuan pendidikan nasional, yakni menyiapkan kualitas SDM yang handal baik intelektual, integritas pribadi, maupun kualitas fisik. Mantan Mendiknas Malik Fajar mengungkapkan bahwa jangan ada kompromi apapun dalam dunia pendidikan. Saatnya kita kedepankan integritas moral baik guru maupun masyarakat.
Masalah lain yang masih tetap menjadi hangat dibicarakan adalah mengenai bentuk kurikulum, Siskandar, (Kompas, 16 April 2001), mengemukakan bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling banyak mendapat perhatian. Bahkan ada yang menganggap kurikulum sebagai salah satu faktor yang amat menentukan keberhasilan belajar siswa. Pada hal faktor keberhasilan lainnya juga ditentukan oleh guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta manajemen sekolah. Siskandar mengakui bahwa kurikulum pendidikan tahun 1994 mempunyai banyak kelemahan yang harus diperbaiki.
Kelemahan tersebut adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran. Jangankan terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari, materi pelajaran yang adapun banyak yang terlalu sukar dan kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa. Kelemahan lain kurikulum itu bersifat popularitas dengan memberlakukan satu sistem pendidikan untuk semua siswa di seluruh tanah air. Padahal, potensi, aspirasi dan kondisi lingkungannya sangat beragam.
Selain beberapa persoalan di atas, dalam buku pegangan berjudul Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (life skill) melalui pendekatan Broad-Based Education (BBE) yang disusun oleh Tim Broad-Based Education Depdiknas Januari 2002, menyebutkan bahwa persoalan nasional yang dihadapi bangsa indonesia dalam rangka peningkatan kualitas SDM saat ini masih sulit dipecahkan, terutama yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
1) Terjadinya perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia dari Sistem Sentralistik menjadi Otonomi Daerah. Kondisi ini memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis produktif maupun manajerial, dengan harapan mampu mempercepat roda perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatan daerah.
2) Sistem pendidikan yang selama ini diterapkan belum dapat menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas. Hal tersebut banyak ditunjukkan dari penelitian badan–badan Internasional yang hasilnya sangat tidak menggembirakan, bahwa Indonesia selalu mendapat nomor yang terbawah bahkan dibawah negara tetangga seperti Vietnam.
3) Banyak lembaga yang menyelenggarakan pendidikan umum (SMA dan yang sederajat ) ternyata kurang mendukung tuntutan dunia usaha dan industri akan tenaga kerja, sehingga tamatannya meningkatkan angka pengangguran.
4) Tingginya potensi tidak melanjutkan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.
Data statistik pendidikan tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah tamatan yang tidak melanjutkan dari SLTP ke Sekolah Menengah (SMA) 34,40%, dan SMA ke Perguruan Tinggi (PT) 88,4%. Angka tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2007. Hal ini tentunya cukup mengkhawatirkan karena sebagian besar dari mereka masuk ke pasar kerja tanpa memiliki kompetensi yang memadai dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja.
Berdasarkan beberapa pernyataan tentang kondisi pendidikan di tanah air seperti yang telah disebutkan di atas, maka langkah kongkrit yang harus segera mendesak untuk dilakukan adalah melaksanakan apa yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang didalamnya terdapat esensi yang paling utama yaitu memberikan kecakapan/keterampilan hidup (life skill) bagi para siswa agar nantinya mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan/teknologi serta memiliki iman dan taqwa, memiliki daya nalar yang tinggi, kritis, inovatif dan kreatif. Dan pada akhirnya tamatan pendidikan tersebut akan menjadi aset terbesar dalam pembangunan bangsa dan negara bahkan yang lebih penting lagi mereka dapat hidup mandiri dan mampu berdiri di atas kaki sendiri, membiayai hidupnya dan keluarga serta bermanfaat terhadap lingkungannya. (dari berbagai sumber)
Disamping itu pondasi pendidikan secara nasional masih lemah. Pelajaran yang diajarkan dalam kurikulum kita belum banyak mengandung basic learning skills.
Dari sisi lain ternyata hasil pendidikan kita masih sangat rendah dari segi mentalitas. Hal ini didasari oleh pidato Mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri yang mengatakan bahwa mentalitas bangsa Indonesia tertinggal dibanding negara-negara lain, termasuk dengan negara tetangga terdekat sekalipun.
Masalah ini pada gilirannya bermuara pada rendahnya kadar disiplin sosial bangsa sehingga berdampak negatif terhadap kegiatan dan hasil-hasil pembangunan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan dan kecerdasan memang telah mampu mengantar Indonesia pada tingkat kehidupan dan kemajuan seperti sekarang ini. Namun saat yang bersamaan, dengan jujur harus kita akui bahwa sikap mental kita ternyata belumlah tumbuh sebanding dengan kemajuan fisik dan material yang kita capai (Kompas, 3 Mei 2001).
Selain kenyataan di atas, persoalan mutu pendidikan Indonesia ternyata terburuk di Asia tenggara. Dalam Rakor Kesra terbatas yang diikuti empat Menteri Kabinet Gotong-Royong pada Kamis, 28 Maret 2001 di Jakarta, menyepakati, kondisi mutu pendidikan nasional dewasa ini paling buruk di Asia Tenggara. Jusuf Kalla menyatakan kondisi mutu SDM Indonesia sangat memprihatinkan di Asia. Dalam persaingan dengan negara lain, ibaratnya kita hanya mampu bersaing pada tingkat kuli dan pembantu rumah tangga (PRT).
Ini karena sistem pendidikan kita yang keliru dan harus ada pembenahan pada proses belajar-mengajar yang tidak benar. Beliau mengatakan lebih lanjut, mengapa kita terpuruk?, karena kita tidak mau belajar, sebab selama ini yang belajar atau tidak, prestasinya dianggap sama. Belajar atau tidak, waktu ujian lulus semua. Sementara Mantan Mendagri Hari Sabarno, mengemukakan keterpurukan sistem pendidikan nasional memperburuk kualitas SDM Indonesia, itulah sebabnya, pendidikan perlu terobosan untuk melihat kembali tujuan pendidikan nasional, yakni menyiapkan kualitas SDM yang handal baik intelektual, integritas pribadi, maupun kualitas fisik. Mantan Mendiknas Malik Fajar mengungkapkan bahwa jangan ada kompromi apapun dalam dunia pendidikan. Saatnya kita kedepankan integritas moral baik guru maupun masyarakat.
Masalah lain yang masih tetap menjadi hangat dibicarakan adalah mengenai bentuk kurikulum, Siskandar, (Kompas, 16 April 2001), mengemukakan bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling banyak mendapat perhatian. Bahkan ada yang menganggap kurikulum sebagai salah satu faktor yang amat menentukan keberhasilan belajar siswa. Pada hal faktor keberhasilan lainnya juga ditentukan oleh guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta manajemen sekolah. Siskandar mengakui bahwa kurikulum pendidikan tahun 1994 mempunyai banyak kelemahan yang harus diperbaiki.
Kelemahan tersebut adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran. Jangankan terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari, materi pelajaran yang adapun banyak yang terlalu sukar dan kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa. Kelemahan lain kurikulum itu bersifat popularitas dengan memberlakukan satu sistem pendidikan untuk semua siswa di seluruh tanah air. Padahal, potensi, aspirasi dan kondisi lingkungannya sangat beragam.
Selain beberapa persoalan di atas, dalam buku pegangan berjudul Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (life skill) melalui pendekatan Broad-Based Education (BBE) yang disusun oleh Tim Broad-Based Education Depdiknas Januari 2002, menyebutkan bahwa persoalan nasional yang dihadapi bangsa indonesia dalam rangka peningkatan kualitas SDM saat ini masih sulit dipecahkan, terutama yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
1) Terjadinya perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia dari Sistem Sentralistik menjadi Otonomi Daerah. Kondisi ini memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis produktif maupun manajerial, dengan harapan mampu mempercepat roda perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatan daerah.
2) Sistem pendidikan yang selama ini diterapkan belum dapat menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas. Hal tersebut banyak ditunjukkan dari penelitian badan–badan Internasional yang hasilnya sangat tidak menggembirakan, bahwa Indonesia selalu mendapat nomor yang terbawah bahkan dibawah negara tetangga seperti Vietnam.
3) Banyak lembaga yang menyelenggarakan pendidikan umum (SMA dan yang sederajat ) ternyata kurang mendukung tuntutan dunia usaha dan industri akan tenaga kerja, sehingga tamatannya meningkatkan angka pengangguran.
4) Tingginya potensi tidak melanjutkan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.
Data statistik pendidikan tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah tamatan yang tidak melanjutkan dari SLTP ke Sekolah Menengah (SMA) 34,40%, dan SMA ke Perguruan Tinggi (PT) 88,4%. Angka tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2007. Hal ini tentunya cukup mengkhawatirkan karena sebagian besar dari mereka masuk ke pasar kerja tanpa memiliki kompetensi yang memadai dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja.
Berdasarkan beberapa pernyataan tentang kondisi pendidikan di tanah air seperti yang telah disebutkan di atas, maka langkah kongkrit yang harus segera mendesak untuk dilakukan adalah melaksanakan apa yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang didalamnya terdapat esensi yang paling utama yaitu memberikan kecakapan/keterampilan hidup (life skill) bagi para siswa agar nantinya mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan/teknologi serta memiliki iman dan taqwa, memiliki daya nalar yang tinggi, kritis, inovatif dan kreatif. Dan pada akhirnya tamatan pendidikan tersebut akan menjadi aset terbesar dalam pembangunan bangsa dan negara bahkan yang lebih penting lagi mereka dapat hidup mandiri dan mampu berdiri di atas kaki sendiri, membiayai hidupnya dan keluarga serta bermanfaat terhadap lingkungannya. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar